Selasa, 01 Desember 2009

Jabar (masih) Darurat HIV/AIDS dan Seks Bebas

Oleh: Siti Nafidah (Ketua Muslimah DPD I HTI Jawa Barat)

Mengerikan. Barangkali itu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi penyebaran kasus HIV/AIDS dan perilaku seks bebas di Jawa Barat, khususnya di kalangan remaja. Tercatat sejak tahun 2005 Jawa Barat selalu menduduki ranking teratas dalam jumlah kasus HIV/AIDS mengalahkan DKI Jakarta dan provinsi-provinsi lainnya. Catatan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jabar, hingga Maret 2009 ada 4.520 kasus HIV/AIDS (2.682 AIDS dan 1.838 HIV positif). Dan berdasarkan catatan BKKBN Jawa Barat, pengidap HIV/AIDS di Jawa Barat ini selalu didominasi oleh kalangan remaja yang berusia antara 15-29 tahun, yakni sebanyak 58 persen.

Demikian juga dengan seks bebas. Pada April lalu bkkbn online melansir hasil temuan penelitian mengenai seks bebas dikalangan remaja di 5 kota besar Indonesia yang cukup mengejutkan. Pada penelitian tersebut Jawa Barat diwakili kota Tasikmalaya dan Cirebon. Hasilnya, 17% remaja Tasik mengaku sudah melakukan seks pra nikah, dan 6,7 % remaja Cirebon mengaku penganut seks bebas. Sebelumnya, pada Juli-Desember 2006, Annisa Foundation juga pernah melakukan penelitian kepada 412 orang siswa SMP dan SMA di Cianjur. Hasilnya, lebih dari 42,3 persen pelajar perempuan di kota santri itu telah melakukan hubungan seks pra-nikah yang dilakukan atas dasar suka sama suka dan sebagian dilakukan dengan lebih dari satu pasangan. Di Bandung sendiri temuan penelitian BKKBN menyebutkan, sekitar 21-30% remaja melakukan seks pra nikah, menyamai DKI Jakarta dan Jogjakarta. Angka-angka fantastis terkait HIV/AIDS dan seks pra nikah ini tentu akan sebanding dengan angka penyebaran penyakit menular seksual di kalangan remaja (termasuk HIV/AIDS), penyalahgunaan narkoba (khususnya penggunaan melalui jarum suntik yang menjadi jalan penyebaran HIV/AIDS) dan tingginya kasus aborsi. Hingga September 2008, tercatat sekitar 4,56% pelajar Jawa Barat telah terinveksi HIV/AIDS. Adapun aborsi, dari 400 ribu kasus aborsi yang terjadi di Jawa Barat setiap tahun, separuhnya ditengarai dilakukan oleh remaja (www.bkkbn.gi.id). Untuk kasus penyalahgunaan narkoba, bulan Maret lalu Pikiran Rakyat pernah melansir berita, bahwa remaja korban narkoba di Indonesia ada 1,1 juta orang atau 3,9 % dari total jumlah korban. Sementara di Jawa Barat ada 600.000 pengguna narkoba, yang jika prevalensi sebesar 3,9% itu juga digunakan untuk menghitung remaja pengguna narkoba di jawa Barat, maka bisa dihitung berapa hasilnya.

Apa Yang Terjadi?

Angka-angka di atas tentu tak menggambarkan fakta sesungguhnya. Ibarat gunung es, kenyataan yang tersembunyi ditengarai jumlahnya jauh lebih banyak dari yang menyeruak ke permukaan. Hal ini tentu harus membuat kita prihatin, mengingat remaja merupakan asset masa depan bangsa. Terlebih apa yang terjadi di Jawa Barat juga merefleksikan apa yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan. Bahkan secara persentase, data-data tersebut angkanya jauh lebih besar. Sesungguhnya fenomena seks bebas dan HIV-AIDS di kalangan remaja Jawa Barat ini cukup untuk membuktikan betapa liberalisme memang sudah menjadi norma dan sekaligus life style menggantikan posisi agama yang sebelumnya cukup kental mewarnai budaya mereka. Remaja Jawa Barat seakan tak rela tertinggal nafas jaman bernama modernitas yang kadung dimaknai sempit sebagai ‘kebebasan’ semata-mata. Tak heran, jika di pelosok kampungpun, gadis-gadis desa tak kalah modisnya dengan artis sinetron yang sehari-hari mereka tonton di televisi. Begitupun dengan para pemudanya. Gaya rambut, pakaian, hand phone, cara bicara dan bergaul tak kalah heboh dibanding pemuda Amrik dan artis-artis ibukota yang menjadi idola mereka. Oleh karenanya, jangan harap jika hari ini kita bisa melihat remaja desa berbondong-bondong pergi ke mesjid untuk mengaji dan mengkaji ilmu agama sebagaimana yang biasa terjadi belasan tahun yang lalu. Liberalisme (paham kebebasan) memang menjanjikan banyak hal sekaligus menjerumuskan. Bagi sebagian orang, terlebih para remaja dengan segala karakteristik keremajaannya yang serba ingin tahu, dinamis dan potensi seksualitasnya sedang berkembang, paham ini tentu cukup menggiurkan. Hanya saja, cara berpikir dan mental/emosi yang belum matang pada remaja membuat pilihan-pilihan perilaku bebas mereka lebih banyak dituntun berdasarkan keinginan naluriah semata. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang terjerumus dalam perilaku negative yang tidak hanya membahayakan masa depan mereka sendiri, tetapi juga membahayakan masa depan bangsa. Kondisi ini kemudian diperparah oleh penerapan system sekuler yang memang ‘tidak aman dan tidak sehat’ buat remaja. Sistem ini bahkan menjadi lahan subur bagi berkembangnya liberalisme di tengah-tengah masyarakat dan menjadi biang kerusakan atas mereka. Sebagaimana diketahui, sekularisme dan liberalisme keduanya sama-sama menafikan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dengan paham ini, semua orang dibiarkan menjalani pilihan-pilihan hidup tanpa harus terikat dengan aturan apapun sepanjang pilihannya tidak bersinggungan dengan kepentingan dan kebebasan orang lain. Kalaupun agama boleh berperan, kedua paham ini telah mendistorsi peran tersebut hanya pada hal-hal yang berhubungan dengan urusan ibadah yang dianggap privat, termasuk masalah pernikahan, perceraian dan ritual kematian. Adapun dalam tata ekonomi, pemerintahan, budaya, tata sosial dan lain-lain, system ini mengharamkan adanya campur tangan agama. Semua pengaturannya diserahkan pada kehendak manusia berdasarkan prinsip kebebasan (free will) yang kemudian terrumus dalam formula HAM. Alhasil, yang muncul adalah tatanan hidup yang rusak, seperti tatanan ekonomi kapitalistik yang eksploitatif, tata pemerintahan yang oportunistik, tata budaya yang hedonistik, tata sosial yang liberalistik, dan lain-lain.

Ancaman Lost Generation

Tentu tak bisa dibayangkan bagaimana wajah Jawa Barat dan Indonesia ke depan jika kondisi miris ini dibiarkan. Terlebih secara statistik, remaja Jawa Barat merupakan salah satu sumber daya potensial karena memiliki jumlah yang cukup besar. Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) tahun 2007 jumlah remaja usia 10 - 24 adalah 11.363.275 dari 41.483.729 penduduk yang ada di Jawa Barat atau 27,39% (prov.bkkbn.go.id/jabar). Sedangkan dalam skup nasional, jumlah populasi remaja lebih kurang 20% dari populasi penduduk Indonesia (www.idai.or.id). Bahwa pemerintah cukup peduli dengan kondisi remaja memang tak bisa dinafikan. Bahkan menghadapi darurat kasus penyebaran HIV/AIDS di kalangan remaja, Pemprov Jabar menyatakan siap menjadikan HIV/AIDS sebagai isu yang diprioritaskan sekalipun dana penanggulangannya diakui masih sangat minim. Setidaknya, minimnya pendanaan ini bisa tercover dengan bantuan dana hibah yang diterima dari foundation internasional. Untuk periode Juli 2009 hingga Juni 2011 saja Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menerima dana penanggulangan AIDS dari Global Fund for AIDS, TB, and Malaria (GF-ATM) sebesar 1,6 juta dolar AS atau setara dengan Rp 18,6 miliar. Dana ini kemudian di sebar ke instansi pelaksana yaitu Dinas Kesehatan Jabar sebesar 847.072 dolar AS, Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Jabar sebesar 392.364 dolar AS, dan Perhimpunan Keluarga Besar Indonesia (PKBI) Jabar 459.163 dolar AS (www.pikiran-rakyat.com, 23/4/2009). Persoalannya adalah, dalam tataran implementasi, program-program yang direkomendasikan dan dilakukan selama ini nampaknya masih belum menyentuh akar permasalahan. Selain hanya fokus pada upaya-upaya kuratif, upaya-upaya yang dilakukan juga cenderung bersifat pragmatis, bahkan bermasalah. Sebagai contoh, perluasan akses dan peningkatan kualitas pelayanan KB dan kesehatan, termasuk penggunaan jarum suntik KB sekali pakai langsung rusak dan kemudahan memperoleh layanan kontrasepsi dengan mudah dan murah justru membuat remaja kian berani melakukan seks bebas. Begitupun, sosialisasi informasi Kesehatan Reproduksi Remaja yang gencar dilakukan -termasuk kampanye seks sehat dan aman melalui jurus ABCDnya– justru cenderung ‘merangsang’ hasrat seksual remaja untuk melakukan seks pra nikah. Yang lebih parah, kampanye penggunaan kondom yang digagas pemerintah, termasuk penyediaan ATM Kondom resmi di tempat-tempat tertentu malah memfasilitasi kegiatan seks bebas kian merajalela dengan dalih “aman” dari KTD (kehamilan tak diinginkan) dan “aman” dari ancaman terkena HIV/AIDS. Wajar jika upaya-upaya yang dilakukan tersebut tak berpengaruh signifikan terhadap berkurangnya angka HIV/AIDS dan seks bebas berikut dampak turunannya. Malahan data menunjukkan kasus-kasus tersebut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan peningkatan yang sangat fantastik. Kondisi ini sebetulnya niscaya jika melihat semua upaya yang dilakukan memang tegak di atas paradigma yang salah, yakni paradigma liberal dan secular yang senantiasa meminggirkan aturan-aturan agama. Padahal, sebagaimana yang telah dijelaskan, justru liberalisme dan sekularismelah yang menjadi biang merebaknya kasus-kasus tersebut di kalangan remaja. Bagaimana bisa, dengan program kondomisasi misalnya, remaja mau berhenti melakukan seks bebas, sementara program ini mengkampanyekan pemakaian kondom bisa mencegah KTD dan HIV/AIDS? Bagi remaja, kampanye ini tentu dipahami sebagai “ga apa-apa melakukan aktivitas seks asal mau pake kondom”. Begitupun, bagaimana bisa mereka terhindar dari KTD dan ancaman HIV/AIDS, sementara penelitian menunjukkan, bahwa kondom terbukti tidak mampu mencegah penularan HIV karena pori kondom ternyata berukuran 700 kali lebih besar dibandingkan ukuran HIV-1 dan ternyata kondom sensitif terhadap suhu panas dan dingin, sehingga 36-38% sebenarnya tidak dapat digunakan. Dengan demikian, wajar jika alih-alih mnyelamatkan generasi dari bahaya HIV, kondomisasi justru mendorong remaja berseks bebas dan mempercepat penyebaran HIV/AIDS hingga 13-27% lebih (Weller S, Davis K, 2004). Alhasil, ancaman lost generation bukan lagi cuma mimpi, namun suatu saat akan benar-benar terjadi.

Kebijakan Berperspektif Penyelamatan Generasi

Seharusnya pemerintah dan seluruh stakeholder yang terkait segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan penanggulangan HIV/AIDS dan seks bebas di kalangan remaja, jika mereka memang betul-betul peduli terhadap generasi penerus masa depan ini. Jika mereka sepakat dengan konklusi bahwa liberalisme sekularisme adalah akar/biang kerusakan, termasuk menjadi tanah subur bagi berkembangnya seks bebas dan HIV/AIDS, maka semua upaya yang tegak di atas paradigma ini harus segera ditinggalkan.Sebagai contoh, formula ABCD yang include dalam sosialisasi KRR dan program penanggulangan HIV/AIDS yang selama ini dilakukan, harus dihapuskan. Tidak boleh ada alternative lain selain kampanye Abstinence (no free sex) dan no Drugs. Kalaupun program kondomisasi mau tetap digunakan, konteksnya hanya untuk program pengaturan kelahiran dalam perkawinan yang menurut agama memang dibolehkan. Itupun hanya sebagai pilihan, bukan kewajiban. Lebih dari itu, seluruh kebijakan pemerintah di semua lini harus dipastikan berparadigma menjamin penyelamatan generasi. Ini berarti, seluruh akses yang mengarah kepada rusaknya generasi, baik karena seks bebas dan penyalahgunaan narkoba yang memicu merebaknya HIV/AIDS, maupun yang mengarah pada kemaksiatan lainnya harus ditutup rapat dengan cara memberlakukan system pengaturan kehidupan yang tegak di atas paradigma yang benar dan merupakan versus dari liberalisme-sekularisme. Antara lain, pemerintah wajib menerapkan aturan sosial yang menjauhkan dominasi rangsangan seksual dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan cara ini, hubungan yang terjadi di antara mereka akan dipenuhi suasana ta’awun/kerjasama saling menguatkan untuk berkontribusi maksimal sesuai peran dan fungsinya dalam membangun peradaban dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, bukan suasana jinsiyah sebagaimana yang terjadi dalam system liberal. Terkait dengan ini, pergaulan bebas antar lawan jenis, industry pornografi dan pornoaksi sama sekali tidak akan diberi tempat oleh penguasa.
Demikian pula dalam aspek ekonomi. Pemerintah wajib menerapkan aturan yang akan menjamin stabilitas ekonomi yang kuat yang bertumpu pada kegiatan ekonomi ril, termasuk mandiri mengelola aset-aset SDA yang melimpah ruah sehingga negara memiliki kas besar untuk melakukan pembangunan dan dengannya bisa benar-benar menjamin kesejahteraan rakyat. Pemerintah juga wajib memberikan akses yang semudah mungkin bagi rakyat atas lapangan pekerjaan yang halal sehingga dengan cara ini peluang munculnya pekerjaan-pekerjaan yang rusak dan merusak, seperti bisnis narkoba dan industry seks yang hari ini justru menjadi bagian dari kegiatan ekonomi bayangan (shadow economic) yang memberi keuntungan sangat besar juga bisa ditutup rapat.
Kebijakan pendidikanpun tak kalah penting untuk dideregulasi. Jika selama ini kebijakan pendidikan lebih mengarah pada tujuan-tujuan materi, maka sudah saatnya pendidikan diarahkan untuk membangun kepribadian individu yang kuat, baik dari sisi pardigma berpikir maupun pola sikap yang keduanya didasari kesadaran yang benar terhadap makna hidup, tujuan hidup dan hal-hal lain yang bersifat transedental. Dalam konteks Islam, kepribadian dimaksud adalah kepribadian Islam yang tegak di atas kesadaran akan tujuan penciptaan, yakni menjadi pengelola bumi dalam rangka beribadah kepada Sang Khaliq. Paradigma pendidikan semacam inilah yang terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi berkualitas, yang siap membangun peradaban umat sedemikian gemilang. Dan untuk mewujudkannya, paradigma pendidikan ini harus dibreak down sedemikian rupa dalam bentuk kurikulum dan metoda pembelajaran yang mengarah pada tujuan tersebut. Tentu saja, untuk menjamin penerapan semua kebijakan tersebut, pemerintah juga harus menerapkan system hukum dan system sanksi yang tegas yang tidak hanya berfungsi sebagai pencegah terjadinya penyelewengan saja, tetapi juga memiliki paradigma ruhiyyah, yakni sebagai penebus dosa, yang sejatinya akan menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat untuk senantiasa taat pada setiap kebijakan pemerintah. Secara keseluruhan, sistem dimaksud tak lain hanyalah system Islam, yang hanya bisa ditegakkan dalam wadah Daulah Khilafah Islamiyah yang menjadikan kedaulatan hanya di tangan Allah SWT saja.

Pengokohan Fungsi Keluarga

Ala kulli hal, mewujudkan kondisi ideal seperti itu diakui memang tidak mudah. Dibutuhkan upaya massif dan waktu yang (barangkali) panjang untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya perubahan yang bersifat mendasar dari kehidupan yang liberal dan sekuler yang rusak ini menuju kehidupan yang menjunjung tinggi aturan-aturan ilahiyah. Meski pasti sulit, namun yakin upaya ini bisa dilakukan jika kita memiliki tekad yang kuat untuk menyelamatkan masa depan umat yang kini sedang di ambang kehancuran, di samping memiliki konsep yang jelas tentang bentuk masyarakat yang ingin diwujudkan dan jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkannya. Namun karena persoalan seks bebas dan HIV AIDS ini sekarang ada di hadapan mata, maka dalam jangka pendek, harus ada upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir penyebaran dan dampaknya. Setidaknya, kita harus berupaya agar penyakit yang lahir sebagai dampak liberalisme sekularisme ini tidak lantas menyerang kita, keluarga kita dan masyarakat di sekitar kita. Pengokohan fungsi keluarga sebagai sekolah, mesjid, rumahsakit dan camp perjuangan, menjadi hal yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Karena pada saat penguasa dan negara tak bisa lagi menjadi benteng pelindung atau junnah bagi ummat sebagaimana kata Nabi Saw, maka keluargalah yang akan menjadi benteng terakhir pertahanan kita.

Sumber : hizbut-tahrir.or.id

1 komentar:

  1. duh mas yang aku tema nya diganti eh malah jlek bagusan yang bikin mas mu di rubah lgi tp gk tau gmna he2x............

    BalasHapus